Minggu, 02 Maret 2008

PEMBAKARAN BUKU

Seratus tahun sebelum kelahiran Hitler, penyair Yahudi-Jerman, Heinrich Heine, telah menyatakan: "Dimanapun buku-buku dibakar, manusia ditakdirkan dibakar juga."

Pada malam hari tanggal 10 Mei 1933, sebuah peristiwa yang tidak pernah terlihat di Eropa sejak abad pertengahan terjadi saat pelajar-pelajar Jerman dari universitas yang pernah dikatakan sebagai salah satu terbaik di dunia, dikumpulkan di Berlin untuk membakar buku-buku berisi pemikiran yang "Bukan Jerman".

Para pelajar, bersama dengan pasukan storm trooper seragam coklat, melemparkan buku-buku ke dalam kobaran api sambil memberi hormat pada Hitler dan menyanyikan lagu kebangsaan Nazi. Di antara 20,000 buku yang dibakar adalah karya dari Henri Barbusse, Franz Boas, John Dos Passos, Albert Einstein, Lion Feuchtwanger, Friedrich Förster, Sigmund Freud, John Galsworthy, André Gide, Ernst Glaeser, Maxim Gorki, Werner Hegemann, Ernest Hemingway, Erich Kästner, Helen Keller, Alfred Kerr, Jack London, Emil Ludwig, Heinrich Mann, Thomas Mann, Karl Marx, Hugo Preuss, Marcel Proust, Erich Maria Remarque, Walther Rathenau, Margaret Sanger, Arthur Schnitzler, Upton Sinclair, Kurt Tucholsky, Jakob Wassermann, H.G. Wells, Theodor Wolff, Emilé Zola, Arnold Zweig, and Stefan Zweig.

Menteri Propaganda Joseph Goebbels bergabung dengan para pelajar di pembakaran dan menyatakan: "Era intelektualisme Yahudi ekstrim sekarang berakhir...Masa depan orang Jerman tidak hanya menjadi manusia buku tetapi manusia berkarakter. Itulah cita-cita yang kami inginkan untuk mendidik kalian. Sebagai pemuda, untuk mempunyai keberanian dalam menghadapi pandangan marah yang bengis, untuk mengatasi ketakutan akan kematian, dan mendapat kembali rasa hormat untuk kematian – ini adalah tugas dari generasi muda ini. Dengan demikian kalian bekerja dengan baik di waktu tengah malam ini untuk membakar roh jahat dari masa lalu. Ini adalah tindakan yang kuat, besar dan simbolis – suatu tindakan yang akan dicatat agar seluruh dunia mengetahuinya – disini pondasi intelektual dari Republik November tenggelam ke dalam tanah, tetapi dari pecahan ini phoenix dari roh baru akan bangkit dengan jaya..."

Jerman sekarang dipimpin oleh seorang yang belajar sendiri, tidak tamat sekolah menengah bernama Adolf Hitler, yang secara alami anti intelektual. Bagi Hitler, kebangkitan kembali semangat Jerman yang lama terbengkalai, yang berupa rasialisme dan militerisme, jauh lebih penting daripada belajar secara tradisional.

Sebelum Hitler, kota-kota universitas Jerman terhitung sebagai salah satu pusat dunia untuk inovasi ilmiah dan literatur ilmu pengetahuan. Di bawah Hitler, vitalitas intelektual Jerman mulai mengecil. Kebenaran, pemikiran rasional dan pengetahuan obyektif, yang merupakan batu pondasi dari peradaban barat, dicela oleh para pelajar dan profesor Nazi untuk mendukung mistisme, spekulasi dan pemikiran kolektif ke depan untuk tujuan umum – mengejar masa depan yang gemilang bagi Jerman.

Pergerakan Nazi yang berorientasi kaum muda selalu menarik perhatian banyak pengikut diantara para pelajar yang sunguh-sungguh di universitas. Bahkan di tahun 1920-an mereka merasakan Nazi sebagai gelombang masa depan. Mereka bergabung dengan liga Pelajar Nasional Sosialis Jerman, mengenakan ban lengan swastika dan menyakiti guru-guru yang anti-Nazi.

Sekarang, banyak profesor yang mulanya enggan di sapu bersih oleh banyaknya pelajar yang antusias mengikuti perebutan kekuasaan yang dilakukan Hitler. Kebanyakan dari profesor itu ingin segera menyerahkan kejujuran intelektual mereka dan menyerahkan kesetiaan pada Nazi. Mereka juga menjilat pejabat partai Nazi guna mendapatkan salah satu jabatan akademis sebagai hasil dari pengusiran besar-besaran profesor dan dekan Yahudi.

Seluruh pengajaran profesi di Jerman, mulai dari sekolah dasar sampai tingkat universitas, dibersihkan dari instruktur Yahudi dan siapapun yang dianggap mencurigakan secara politik, dengan mengabaikan prestasi atau kemampuan mengajar mereka, termasuk 20 pemenang Nobel yang telah lalu (dan yang akan datang). Sekitar sepuluh persen dari kekuatan pendidikan di Jerman dirampas dalam tahun 1933-34, mengakibatkan hasil yang kacau dalam bidang seperti fisika quantum dan matematika yang dikuasai oleh orang Yahudi. Ahli fisika terkemuka dunia, Albert Einstein, tinggal di Amerika bersama dengan pengungsi intelektual lainnya.

Pecinta kebenaran dan kebebasan yang tetap tinggal di Jerman hanya dapat melaksanakan untuk kabur dengan perwujudan inner-emigration. Nazi tidak pernah benar-benar tahu apa yang ada dalam pikiran seseorang sepanjang orang itu dapat menjadi semacam kartu poker yang bagian mukanya tidak diketahui dan tidak menunjukkan pikiran pribadinya. Bagaimanapun, hal ini juga menjadi sebuah kesendirian yang mencekam.

Pada akhirnya, kelompok-kelompok kecil mahasiswa dan profesor yang masih menentang Nazisme saling bertemu satu sama lain. Mereka kadang-kadang mengadakan pertemuan secara tertutup di kampus untuk bertukar pikiran dan ide-ide yang bebas. Salah satu kelompok semacam itu berpusat di Universitas Munich yang terkenal dengan kelompok Mawar Putih dan secara terang-terangan menyebarkan selebaran yang menuntut Hitler "kembalikan pada kami kebebasan pribadi yang sangat berharga bagi tiap orang Jerman, dan yang telah dia bohongkan kepada kami dengan cara yang rendah." Dua anggota kelompok ini, Hans dan Sophie Scholl, ditangkap oleh Gestapo akibat hal itu dan dieksekusi.

Di ruangan kelas perguruan tinggi, profesor memberi kuliah dengan ketakutan dan khawatir akan diadukan oleh mahasiswanya dengan berbagai alasan dan mungkin berakhir dalam kamp konsentrasi. Ambisi politis guru-guru membuat mereka kadang-kadang menyembunyikan dokumen tentang aktivitas dan ucapan seorang temannya yang dapat diserahkan kepada Gestapo untuk kelanjutan karir mereka. Situasi tidak aman yang meluas menyebabkan ketakutan akademik yang lebih lanjut membuat standar pendidikan menurun.

Sekolah dasar dan sekolah menengah seluruh Jerman sekarang mempunyai guru-guru Nasional Sosialis yang diragukan kemampuannya, membentuk pikiran muda dengan kesetian yang tegas pada moto partai: "Tugas utama sekolah adalah mendidik pemuda untuk melayani Bangsa dan Negara dalam semangat Nasional Sosialis." Mereka mengajarkan propaganda Nazi sebagai kebenaran dan menyuruh pelajar-pelajar itu menghafalkan.

Sepanjang tahun-tahun peperangan, organisasi pemuda Hitler secara bertahap menggantikan sistem sekolah dasar dan menengah tradisonal dan menjadi kekuatan utama pendidikan anak-anak Jerman. Dan kualitas pendidikan itu terus memburuk. Pelajar-pelajar yang lulus dari sekolah terkemuka Adolf Hitler berada dalam kondisi fisik yang hebat dan secara menyeluruh dijejali dengan ideologi Nazi, tetapi lemah dalam kemampuan dasar matematika dan ilmu pengetahuan.

Ilmuan Nazi, yang mendapat pendidikan sebelum zaman Hitler, mengeluh bahwa mereka terhalang dalam mengembangkan senjata super baru dengan perekrutan lulusan dari sekolah sistem Nazi. Pemimpin angkatan bersenjata Jerman juga mengeluhkan bahwa kandidat prajurit muda menunjukkan " kekurangan pengetahuan dasar."

Mereka bahkan tidak cukup tahu untuk membuat huruf besar di huruf pertama dari suatu nama diri. Tetapi bagi Hitler, kekurangan ini benar-benar tidak berarti. Sistem sekolah sekarang menghasilkan apa yang dia inginkan – pemuda yang patuh melayani tanah air sampai mati tanpa perlu bertanya seperti slogan Nazi: Percaya, Patuh, Bertempur!

"Programku untuk mendidik pemuda adalah keras," bual Hitler suatu ketika.

"Kelemahan harus dihancurkan. Dalam Ordensburgenku [perguruan tinggi khusus Nazi] seorang pemuda akan tumbuh di depan dunia yang bergetar. Aku ingin pemuda yang brutal, menguasai, tak kenal takut, kejam. Pemuda harus seperti itu semua. Harus menyingkirkan rasa sakit. Harus tidak boleh lemah dan lembut tentang hal itu. Binatang buas pemangsa yang bebas harus sekali lagi tersirat dari mata mereka...Itulah caraku menyingkirkan kejinakan manusia selama ribuan tahun...Itulah bagaimana aku akan menciptakan Orde Baru."

Dan dalam Orde Baru ini, seseorang yang menolak untuk menyesuaikan diri akan dengan mudah disingkirkan dari lingkungannya dan di kirim ke semacam pendidikan ulang dengan batasan sebuah kamp konsentrasi. Disana mereka akan dihancurkan secara fisik, mental dan spiritual sampai mereka tunduk sepenuhnya atau meninggal dunia. Kamp pertama semacam itu adalah Dachau yang berlokasi dekat Munich. Kamp itu menjadi begitu sukses sehingga menjadi model dari semua kamp konsentrasi yang berikutnya, dan jumlahnya akan beratus-ratus.

Tidak ada komentar: